Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Mitos 'Sanja Kuning' Suku Banjar

REPUBLIKPOST.COM - Sejak zaman dahulu, masyarakat Suku Banjar dikenal memiliki warisan mitos dari para leluhur yang sampai kini lazimnya masih dipercayai. Salah satu di antaranya ialah mitos berkenaan dengan fenomena ‘sanja kuning’ atau lembayung senja.

Kebanyakan warga Banjar meyakini hadirnya ‘sanja kuning’ merupakan pertanda kedatangan hal yang tak diinginkan atau bahkan malapetaka.

Mitos 'sanja kuning' jauh berkembang sebelum berdirinya Kesultanan Banjar. Foto - RepublikPost.com

Menurut Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Mansyur, S.Pd., M.Hum, mitos ‘sanja kuning’ dianggap menjadi sesuatu yang sakral, sehingga terus dijaga dan dipelihara agar pemahamannya tidak berbeda.

“Dalam persfektif sejarah, kepercayaan terhadap mitos sanja kuning ini sudah ada dalam budaya lokal masyarakat, jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banjar sekitar 5 abad yang lalu. Budaya lokal tersebut kemudian berakulturasi dengan tradisi dan budaya Islam,” ujarnya kepada Mediakita.co.id melalui pesan singkat WhatsApp, Minggu (20/6/21).

Pada versi lain menyebutkan, mitos ‘sanja kuning’ muncul setelah masyarakat Banjar mengenal agama Islam. Dengan tuntunan yang bersumber dari Al-Qur’an serta hadis, masyarakat beranggapan ketika Magrib tiba banyak makhluk astral yang berkeliaran, bahkan beberapa di antaranya saling berebut untuk mencari tempat tinggal.

Suku Banjar juga meyakini bahwa ‘sanja kuning’ mengandung nilai yang sakral dan tabu. Oleh karenanya, tidak ada satu pun yang mencoba mempernyakan apalagi meragukan perihal mitos tersebut.

Mansyur menjelaskan, nilai kesakralan ‘sanja kuning’ dapat dilihat dari adanya anjuran maupun larangan yang berlaku di tengah masyarakat. Seperti melarang anggota keluarga untuk beraktivitas di luar rumah, serta larangan duduk di depan pintu. Mereka juga dianjurkan untuk menabur abu di halaman rumah, membakar kemenyan, serta memanjatkan doa untuk memohon perlindungan.

“Selain itu mitos sanja kuning juga memiliki nilai tabu. Tabu adalah sesuatu hal atau tindakan yang berisi larangan, pantangan atau tabu juga bisa berupa anjuran. Misalnya, tidak diperbolehkan memasak dengan menggunakan kompor, tetapi harus menggunakan kayu bakar,” terang Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan ini.

Berdasarkan hasil penelitian yang pernah digarap pada tiga wilayah berbeda yakni Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, serta Kabupaten Banjar. Para responden sepakat mitos ‘sanja kuning’ disebarkan melalui tutur bahasa, mulai dari datuk, kakek, hingga akhirnya turun ke anak cucu mereka.

Tak sedikit dari masyarakat menilai mitos tak sekadar cerita, namun juga cerminan dari kebudayaan masyarakat. Di mana mitos menjadi salah satu cara dalam menyampaikan pesan-pesan yang merupakan tradisi atau kebiasaan ‘urang Banjar’.

“Dalam hal ini, mitos ‘sanja kuning’ juga berada dalam tatanan langue dan parole. Mitos sanja kuning menjadi langue dan parole, karena mitos sanja kuning sudah menjadi bahasa bersama. Masyarakat memahami mitos sanja kuning melalui bahasa atau tuturan yang dipelihara secara turun temurun dari generasi ke generasi,” terang Mansyur.(rp)

Posting Komentar untuk "Sejarah Mitos 'Sanja Kuning' Suku Banjar"